Rabu, 11 Mei 2022

Book Review: Catatan Seorang Dokter dari Belantara Boven Digul



Judul: Kisah Nyata: Catatan Seorang Dokter dari Belantara Boven Digul

Pengarang: John Manangsang

Penerbit: Yayasan Obor Indonesia

Halaman: xx + 301 halaman


Menjadi seorang dokter, secara otomatis melekat kata “abdi masyarakat” di badannya. Setiap keputusan yang diambil, tentu diharapkan membawa maslahat yang banyak bagi pasien pada khususnya dan masyarakat pada umumnya.

Tak jarang kita temui banyaknya praktek dokter di kota besar, sebutlah Jakarta. Hampir di setiap komplek terdapat praktek dokter pribadi, klinik, maupun rumah sakit. Tak heran jika sumber daya manusia yang sangat berlimpah ini membuat banyak sejawat dokter yang terpaksa tidak diterima kerja di suatu RS atau bekerja dengan gaji yang lebih miring. 

Mari kita lihat keadaan di Boven Digul. Sebuah kabupaten di pulau ujung Indonesia, Irian Jaya. Boven digul sendiri tak asing bagi yang mengikuti sejarah Indonesia. Di mana, tempat ini lah Mohammad Hatta dan Sultan Syahrir pernah diasingkan oleh penjajah agar tidak dapat memengaruhi rakyat Indonesia.


John Manangsang, seorang putra daerah dari tanah Papua, baru saja lulus menjadi dokter dan kembali ke tanah asalnya dalam program Wajib Kerja Sarjana (WKS) sebagai dokter Inpres, sekarang PTT. Seorang yang awal mulanya hanya bercita-cita sebagai pilot agar bisa menjelajah negeri, memutar haluannya menjadi seorang dokter dan mengabdi di tanah kelahirannya, Papua. Bukan hal yang mudah untuk John menjadi seorang dokter. Biaya sekolah yang mahal, lamanya waktu sekolah ( enam tahun ), dan begitu kembali ke Papua, tepatnya di Tanah Merah, John harus berdamai dengan keterbatasan sarana dan prasarana di daerah tempat mengabdinya.


Di tengah hingar-bingar globalisasi dunia; alat-alat yang semakin canggih, ilmu pengetahuan yang semakin maju, penelitian dan banyaknya penemuan di bidang kedokteran, Boven Digul seolah menjadi dunia lain. Tidak mengenal pesatnya pembangunan, maupun teknologi. Pun pendidikan dan kesehatan. Ketimpangan yang begitu nyata antara penduduk kota dan pedalaman Indonesia tergambar jelas di buku ini.


Buku ini awalnya hanya dicetak khusus untuk mahasiswa kedokteran, para dokter yang akan bertugas di pedalaman, atau daerah terpencil di pelosok negeri ini. John mengajak pembaca menikmati realita yang ada di masyarakat pedalaman. Terisolir di antara pegunungan dan hutan-hutan Papua, akses transportasi hanya berupa perahu yang mengambang di atas sungai Digul, dan pesawat yang hanya bisa singgah 2-3 minggu sekali. Berjalan kaki pun membutuhkan waktu berjam-jam dengan dengan risiko dihisap lintah di sepanjang jalan. Masyarakat miskin hanya mengonsumsi sagu bakar, ubi, pisang bakar. Daging dan ikan ibarat makanan surga yang sulit sekali untuk mereka dapatkan. Maka tak heran jika anak-anak pedalaman tampak buncit perutnya, bukan karena kelebihan makan, namun karena kekurangan gizi kronis.


Sebagai pembaca, emosi yang disampaikan buku ini sangat jelas terasa. Dilema sebagai seorang dokter saat harus mengambil keputusan, antara mengikuti etika dan batasan dalam memberikan terapi bagi masyarakat atau mengikuti nuraninya untuk menyelamatkan nyawa orang lain. Maju kena mundur kena. Maka mengikuti aturan kedokteran konvensional tidak lah mudah untuk diterapkan.


“Tidak melakukan tindakan apa-apa memang tidak berisiko bagi dokter, tetapi hal ini merupakan kesalahan. Berbuat sesuatu yang invasif agresif juga adalah salah. Namun demikian ada kemungkinan pasien bisa diselamatkan, kendatipun tidak mustahil pasien akan lebih cepat mati akibat tindakan tersebut.” Salah satu kutipan dr John di buku ini.


Kebanyakan dari kita melihat dunia hanya dari lingkungan kita saja. Orang-orang ber-”ada” dengan akses kesehatan yang mudah, jarang melakukan cek kesehatan hanya karena merasa “tidak perlu” atau “membuang waktu”. Sementara masyarakat di Boven Digul terpaksa tidak dapat melakukan pemeriksaan kesehatan, bahkan dalam keadaan sakit, karena memang terbatasnya sarana transportasi di sana.


Buku ini sangat bagus dibaca untuk kalangan medis maupun non medis, terutama orang-orang yang memegang kebijakan. Buku ini adalah saksi bisu apa yang terjadi di negeri yang mereka pimpin.  Pengalaman yang tertuang adalah guru berharga yang patut menjadi bahan diskusi untuk kemajuan bangsa ini. Permasalahan kesehatan yang dialami, mulai dari banyaknya anak dengan kondisi busung lapar kekurangan energi dan protein, parasit dan berbagai kuman yang mematikan, dan juga masalah endemis di Indonesia yang menjadi musuh besar di banyak tempat, yaitu TBC. 


Tantangan lain yang dihadapi adalah minimnya pengetahuan kesehatan membuat masyarakat di sana lebih percaya pada hal-hal magis dibanding hal yang ilmiah. Lebih memilihh berobat ke dukun dibandingkan ke Puskesmas. 


Buku ini juga cocok dibaca untuk anak-anak SMA. Kita dapat mengambil banyak hikmah dari konsistensi dan semangat juang dr John dalam meraih cita-citanya, yang bahkan orang lain pun menyepelekannya. Hal ini yang mungkin sulit di dapat oleh kebanyakan pemuda di perkotaan (jaman sekarang). Kemajuan teknologi, kemudahan mengakses ilmu, kebutuhan yang terpenuhi, membuat mereka cenderung memilih yang instan. Berkutat dengan zona nyaman tanpa adanya keinginan untuk berlepas diri darinya.


Sayangnya buku ini sudah tidak dicetak lagi. Saya pun mendapatkan buku ini secara secondhand di marketplace. Padahal buku ini bisa menginspirasi banyak orang. Bisa jadi sebenarnya ada banyak dr John-dr John yang lain yang saat ini sedang bergelut dengan dilema dokter di pedalaman. Terimakasih untuk semua teman sejawat yang telah mengambil peran dan menggantikan kami berkecimpung di pelosok negeri ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terimakasih sudah mampir. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar.

Tips Membuat Infografis dengan Canva

Hallo teman-teman… Apa kabarnya nih? Semoga sehat selalu ya… nah, teman-teman di sini adakah yang suka mendesain? Jaman now , desain itu tid...