Orang bilang, kita akan merasakan rindu saat raga terpisah. Mereka bilang rindu itu memiliki rupa yang memudar karena lama tak bersua. Ia juga memiliki rasa, memiliki irama. Bilangan rindu pun tak terhitung oleh banyak perkara.
Namun bagiku, rindu tidak hanya sebatas raga yang terpisah. Ia tetap
hadir meski kita berada pada satu dimensi waktu dan tempat. Rindu tak hanya
sebatas yang didefinisikan. Bagiku, rindu memiliki wajah. Ia teduh menentramkan,
membuat siapa saja mau berlama-lama dengannya. Bagiku, rindu pun memiliki bau.
Bau yang kurindukan adalah semerbak parfum bunga bawar yang mengisi sudut-sudut
rumahku. Mawar yang lembut. Bagiku, rindu itu adalah pemilik rasa hangat. Ia
lah ibuku, objek kerinduanku.
Aku tak menyangka, aku akan merasakan sedemikian rindu pada ibuku. Aku bahkan
tak berpisah raga dengannya. Ia ada disisiku, namun aku merindukannya. Ia
membersamaiku, namun jiwanya tidak berada di sini. Ada sesuatu di otak ibu yang
membuat ibu melupakan banyak hal, ibu tidak bisa mengatakan apa yang ingin ia
katakan. Ibu sering berbicara tidak jelas. raut wajahnya tidak lagi
menyimbolkan ketentraman, tidak ada senyum menyungging di pipinya, atau pun
gurauan khas ibuku. Aku bahkan tidak pernah lagi menghirup semerbak aroma bunga
mawar yang biasa ibu semprotkan di bajunya.
Dokter bilang ibu mengalami afasia, sebuah gejala kehilangan kata-kata.
Ada banyak jenisnya, yang sedang dialami ibu adalah afasia wernick. ibu banyak
bicara, dan sering mengeluarkan kata-kata baru, namun ibu tidaklah paham apa
yang ia ucapkan. Dokter bilang karena ada suatu pendesakan di otaknya yang
berakibat rusaknya saraf-saraf memori. Ibuku melupakan banyak perbendaharaan
bahasa yang selama 49 tahun ia tabung. Ia bahkan melupakan nama anak-anaknya.
Tidak ada yang lebih menyedihkan di dunia ini bagiku selain dilupakan oleh ibu
sendiri. Tentu saja ibu tidak sengaja melakukannya. Beruntungnya kami menemukan
dokter yang paham permasalahan ibu dan mudah diajak diskusi.
Aku tak pernah menyangka hal itu terjadi pada ibuku. Dan kejadian ini sangatlah cepat. Baru sebulan yang lalu ibu mengeluhkan sakit kepala, sakit kepala yang tiada menghilang walau pun dengan obat anti nyeri. Dokter bilang, mungkin ini adalah sebuah tifus, karena saat itu ibu juga ada demam selama seminggu, namun tidak disangka obat-obatan tidak juga berefek pada nyeri kepala ibu. Ibu terus-terusan menolak untuk dibawa ke Rumah Sakit, untuk melakukan pemeriksaan lebih lengkap, dengan dalih Rumah Sakit sedang banyak kasus Covid. Sampai suatu ketika ibu tiba-tiba tidak sadarkan diri dan di rawat di ruang intensif. Barulah setelah itu kami tahu ada sesuatu yang tidak beres di kepala ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar.