Bismillah
Menikah adalah ibadah yang bernilai separuh agama. Jika untuk melaksanakan haji atau umroh saja butuh dilakukan manasik, maka untuk menjalani ibadah menikah tentunya harus ada persiapan ilmu yang lebih baik lagi, kan?
Tapi nyatanya, banyak yang menikah namun tak menyiapkan ilmunya. Bukan saja ilmu pernikahannya saja, tapi ilmu tentang turunannya, tentang fikihnya, tentang parentingnya, dll.
Ada sebuah kisah yang pernah saya dengar, ada sepasang dokter spesialis, yang satu dokter spesialis obgyn, yang satunya dokter spesialis bedah. Keduanya sangat sibuk. Mereka berdua ini memiliki tiga orang anak. Masing-masing anak memiliki baby sitter. Ironisnya, saat keduanya sibuk, dan si baby sitternya ini pulang kampung anak dooter spesialisnya ini pun di bawa serta ke kampungnya!
Heran kan?
Kok bisa?
Kok ada gitu orangtua yang rela anaknya ikut ke kampung susternya?
Hmmm... mungkin mereka memiliki banyak pertimbangan.
Tapi untuk apa dong keduanya pandai sampai menjadi spesialis, tapi anak-anak mereka berakhir dididik oleh orang yang mungkin tidak jelas konsep berpikirnya?
Miris saat saya mendengar itu. Dan saya yakin, tidak hanya satu di Indonesia ini, tapi ada banyak. Ada banyak anak yang yatim piatu meskipun kedua orangtuanya masih lengkap.
Hal yang hampir mirip pernah saya temui di buku Abah Ihsan "Anak Shalih lahir dari orangtua shalih". Di buki itu, ada seorang ibu beranak dua mengeluhkan kepada Abah Ihsan tentang problematika di keluarganya. Suaminya adalah laki-laki yang suka marah dan berkata kasar ke pada anaknya, ia juga sering berkata dusta pada anaknya. Walhasil, anaknya kinintak lagi mau mendengarkan ayahnya lagi. Mereka menjadi yatim padahal ayahnya masih ada, bahkan mereka lebih senang jika ayahnya tidak di rumah, sampai istrinya merasa memiliki tiga anak dan suaminya ini adalah anak terbesar dan tersulit diatur.
Aku membayangkan bagaimana sang istri begitu kelelahan mengurus keluargnya. Mendidik anak namun tidak mendapat dukungan dari suami.
Dalam berbagai kelas pranikah, selalu disinggung tentang tuntas dengan diri sendiri. Tentang inner child, tentang psikologi dalam pernikahan. Karena setiap orang dalam menikah sejatinya ia tenfah membawa ransel berisi beban-beban hidupnya. Jika tidak dituntaskan, maka hal ini juga akan berimbas pada anak-anak mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih sudah mampir. Mohon untuk tidak meninggalkan link hidup di kolom komentar.